Pasang Disini Iklanmu

PILIH PARTAI BULAN BINTANG YANG PEDULI KESEJAHTERAAN UMAT DAN KEBANGKITAN UMAT ISLAM

Rabu, 17 April 2013

Yusril Ihza Mahendra dan Partai Bulan Bintang: Ihwal Gerakan Politik Islam di Indonesia Menuju Pemilihan Umum 2014


Yusril Ihza Mahendra dan Partai Bulan Bintang: Ihwal Gerakan Politik Islam di Indonesia Menuju Pemilihan Umum 2014



13654004201895186736
Usaha-usaha untuk merevitalisasi dan mendirikan sebuah partai politik Islam di Indonesia sesungguhnya telah dirintis, ketika FUI (Forum Umat Islam) berdiri pada 16 Dzulhijjah, 1440 Hijriah, atau bertepatan dengan tanggal 1 Agustus tahun 1989. Beberapa tokoh yang hadir kala itu, seperti Dr. Moh Natsir, Prof. Dr. HM Rasjidi, Dr. Anwar Harjono, M. Yunan Nasution, Prof. Dr. Ismail Suny, KH. Nur Ali, KH. Hasan Basri, M. Soleiman, KH. Masjkur, M. Buchari Tamam, Ir. Hussein Umar, Ir. AM Luthfi, H. Saiful Masjkur, dan beberapa yang lainnya, menyadari sepenuhnya bahwa forum ini sangat efektif sebagai wadah silaturahmi yang berperan terhadap pembangunan kualitas umat.
Seiring dengan berjalannya waktu, setelah melalui pertimbangan yang matang, beberapa tokoh dalam FUI itu kemudian merangkul ormas-ormas Islam nasional seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Muhammadiyah, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam, ICMI, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad, Ikatan Masjid Indonesia, Gerakan Pemuda Islam, Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia, Badan Koordinasi dan Pemuda dan Remaja Mesjid Indonesia, Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Komite Islam untuk Solidaritas Umat Islam (KISDI), Ittihadul Mubalighin dan Forum Silaturahmi Habaib, dan beberapa yang lainnya, untuk mencapai tujuan yang lebih besar secara bersama-sama. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 12 Mei 1998, melalui persetujuan kolektif dan kerjasama itu, terbentuklah apa yang dikenal dengan BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam), sebagai cikal bakal dimulainya gerakan politik Islam di tanah air kita ini, beberapa hari menjelang kekuasaan Orde Baru berakhir.
Setelah melalui proses yang berliku-liku tersebut, akhirnya pada 23 Rabiul Awal, 1419 Hijriah, atau bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1998, dimulailah momen bersejarah kebangkitan kembali gerakan politik Islam di Indonesia, dengan terbentuknya sebuah Partai Politik Islam, yang dinamakan Bulan Bintang. Dipilihnya nama itu oleh karena identifikasi historis sebuah keluarga besar dari organisasi dan jamaah pendukung Partai Masyumi di masa kejayaan politik Islam Indonesia pada Pemilihan Umum tahun 1955 yang lalu.
Lambang bulan bintang dalam masyarakat Muslim dunia seperti di Afrika Utara, Afrika Selatan, Timur Tengah, maupun Asia Tenggara, pada umumnya memang dikesankan sebagai simbol Islam, meskipun tidak bisa diingkari bahwa tidak menutup kemungkinan adanya tafsir yang berbeda terhadap simbol dan lambang tersebut. Simbol bulan bintang di masa yang lalu misalnya pernah digunakan sebagai tanda gambar Sarekat Islam, sebagai cikal bakal Pergerakan Islam di masa pra-kemerdekaan tahun 1945, dan terakhir digunakan juga sebagai tanda gambar Masyumi, ketika Partai Politik ini diumumkan pada awal November 1945.
Gambaran simbol bulan bintang dalam partai ini tidak lain adalah untuk menggambarkan kesinambungan historis perjuangan Islam sejak berabad-abad lampau, sejak kaum Muslimin mulai tumbuh dan berkembang di masyarakat kita ini, kemudian berjuang dan mendirikan kesultanan-kesultanan Islam, bertempur melawan penjajah, dan akhirnya bahu-membahu dengan segenap komponen kekuatan bangsa mencapai kemerdekaan pada tahun 1945, dilanjutkan dengan perjuangan politik pasca kemerdekaan, sampai pada dewasa ini.
Peran simbol dalam penamaan sebuah partai atau sebuah gerakan politik kiranya menjadi hal yang penting untuk mengintrodusir kepada masyarakat perihal pemahaman atas visi dan misi yang diusung dalam aktivitasnya. Dalam batas yang minimal dari segi doktrin – tetapi penting dari segi sosial dan politik, agama pun kerap digunakan sebagai simbol-simbol identitas diri.
Seseorang yang mengaku diri Muslim dalam sebuah masyarakat Islam, terkadang menunjukkan arti tertentu yang membedakan dirinya dengan orang atau komunitas-komunitas lain. Bagi pejuang Bosnia, Islam sebagai identitas diri mungkin lebih penting dari mengerjakan amal-amal ibadah ‘khashasah’ seperti shalat, puasa dan sebagainya. Sebab dengan menonjolkan simbol-simbol Islam itulah, mereka dapat mengidentifikasikan diri, dan sekaligus membedakannya dengan orang-orang Serbia.
Dr. Anwar Harjono sebagai juru bicara terakhir dari Partai Masyumi, pendiri dan sekaligus sesepuh dari Partai Bulan Bintang, menyatakan bahwa Partai ini adalah penerus cita-cita perjuangan Masyumi, yang didirikan dengan niat ‘Izzul Islam Wal Muslimin’, dan bertujuan untuk membangun bangsa dan negara bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia, tanpa membedakan asal-usul keturunan, agama, maupun golongan, sesuai dengan prinsip Islam sebagai ‘Rahmatan Lil Alamin’.
Setelah didirikan pada hari Jum’at tanggal 17 Juli 1998, maka 40 hari kemudian, pada tanggal 2 Rabiul Awal, 1419 Hijriah, atau bertepatan dengan 26 Juli 1998, di halaman Masjid Agung Al-Azhar, Partai Bulan Bintang ini dideklarasikan dan disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat Indonesia, sekaligus terpilihnya seorang intelektual muda Muslim saat itu, bernama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc., sebagai Ketua Umum sebuah partai yang menjadi simbol perjuangan politik Islam Indonesia di awal era reformasi tahun 1998.
Selanjutnya, pada Musyawarah Kerja Nasional Perdana Partai Bulan Bintang, yang diselenggarakan pada tanggal 25-28 Februari 1999, Sang Ketua Umum itu kembali menegaskan bahwa Partai ini merupakan representasi perjuangan Masyumi dahulu, yang menggunakan cara-cara yang sah dan konstitusional dalam memperjuangan aspirasinya, dengan prinsip gerakan “Islamic Modernism”. Ia menambahkan bahwa Masyumi boleh mati, tetapi ruh-nya akan tetap hidup dalam cita-cita dan sanubari para penerusnya dalam kesinambungan pergerakan politik Islam di tanah air.
Selain itu, pada berbagai kesempatan, baik dalam kedudukan sebelumnya sebagai Ketua Umum, maupun sebagai Ketua Majelis Syura sekarang ini, Yusril Ihza Mahendra senantiasa mensosialisasikan bahwa Partai Bulan Bintang memposisikan dirinya sebagai “Ummatan Wasathan”, seperti yang dikatakan Al-Qur’an bahwa Umat Islam itu adalah ‘umat yang pertengahan’. Dengan demikian, prasangka-prasangka yang menyebut bahwa Partai ini adalah ekstrim kiri atau ekstrim kanan adalah tidak berdasar dan “contradictio in terminis” dengan ajaran Islam itu sendiri.
Yang menjadi pertanyaan, apakah Partai Bulan Bintang ini bercorak inklusif atau eksklusif?
Sehubungan dengan pertanyaan fundamental dari perspektif kepartaian diatas, Yusril Ihza Mahendra selaku pengendali Partai juga selalu menjelaskan berulang-ulang, bahwa pada prinsipnya partai ini bersifat terbuka. Dalam Anggaran Dasarnya hanya dijelaskan syarat menjadi anggota Partai Bulan Bintang adalah laki-laki atau perempuan, warga negara Indonesia, dan berumur serendah-rendahnya 17 tahun atau pernah menikah. Tidak disyaratkan bahwa untuk menjadi anggota Partai ini adalah mereka yang harus beragama Islam. Mereka yang tidak beragama Islam, yang setuju terhadap dasar perjuangan dan cita-citanya, dipersilahkan untuk masuk dalam keanggotaan Partai Bulan Bintang.
Seperti halnya di negara lain seperti Jerman, terdapat Partai Kristen Demokrat yang berungkali memerintah negara Jerman. Pada faktanya secara internal, tidak sedikit jumlah dan bilangannya kaum Muslimin Jerman menjadi anggota Partai tersebut, sebagaimana juga Partai Bulan Bintang di Indonesia ini, sejauh mereka setuju dan sepakat menerima dasar dan tujuannya.
Bagaimanakah konsepsi pemikiran dan tindakan politik Yusril Ihza Mahendra mempengaruhi konfigurasi Partai Bulan Bintang sebagai gerakan politik Islam dalam kurun satu dasawarsa terakhir?
Dalam menganalisis dinamika sebuah Partai, selain membaca AD/ART sebagai konstitusinya, yang terpenting adalah kita harus memahami dasar pemikiran, dan tindakan dari para pemimpin/aktor politiknya dalam kurun waktu tertentu. Demikian pula bila berbicara mengenai Partai Bulan Bintang dan “corporate thinking”-nya, memang tidak bisa dilepaskan dari refleksi pemikiran dan tindakan politik seorang Yusril Ihza Mahendra, yang secara konfiguratif sangat mendominasi gerak dan langkah perjuangan Partai ini.
Menurut Yusril Ihza Mahendra, secara singkat, membicarakan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa. Sejak berabad-abad lalu, para pemimpin Islam berperang melawan bangsa Eropa. Pada awal abad ke-20, berbagai gerakan Islam bermunculan. Mereka berbicara atas nama Islam, tapi tidak berjuang untuk negara lain. Mereka berjuang untuk masyarakat dan manusia yang mendiami kawasan ini. Jadi jika mereka bicara Islam, itu berarti mereka bicara bangsa. Akan tetapi kalau kita berbicara bangsa, belum tentu berbicara tentang Islam. Dengan demikian, hal tersebut sangat historis. Karena itu, tidak mungkin membicarakan masa depan bangsa jika bangsa itu tercabut dari akar historis dan budayanya. Belajar dari pengalaman bangsa lain seperti Turki, yang mencoba mencabut akar religius dan budayanya, pada akhirnya tidak bergerak kemana-mana.
Partai Bulan Bintang bukanlah merupakan romantisme sejarah yang memimpikan kejayaan masa lampau, karena yang dibangun bukanlah sebuah gerakan ideologi, melainkan gerakan politik melalui wahana Partai. Contoh gerakan ideologi Islam itu, dalam pandangan Yusril Ihza Mahendra, adalah seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Jama’at Islami di Pakistan. Keduanya disebut ‘ideological movement’, dan bukannya Partai Politik, karena tujuan organisasinya adalah menyangkut kesadaran ideologi. Hal yang sangat berbeda dengan Partai Politik yang memasuki koridor kekuasaan.
Ditegaskan kembali oleh Yusril, bahwa Bulan Bintang adalah adalah sebuah Partai Politik, karena itu ia tidak perlu menekankan soal ideologi. Yang ditekankan adalah pragmatisme, persoalan konkrit yang dihadapi bangsa. Karena itu, ia berasas Pancasila, namun berakidah dan berakhlak Islami. Partai ini lebih relevan diperbandingkan dengan Liga Muslim di Liga Muslim di India/Pakistan, sewaktu Pakistan belum memisahkan diri dari benua India, atau Partai Masyumi di Indonesia, yang memiliki tingkat akseptabilitas tinggi dari masyarakat, internalnya sangat plural, dan dapat menjalin kerjasama (aliansi) dengan kelompok-kelompok lainnya pada zaman itu, seperti Partai Sosialis Indonesia, Partai Katolik dan Partai Kristen Indonesia.
Dari segi platform, Partai Bulan Bintang sejak awal pendiriannya, pada dasarnya ingin membangun kerjasama dengan setiap kelompok politik manapun, dengan terlebih dulu memperjelas identitas masing-masing, “Saya ini begini dan Anda begitu”. Dengan menyadari ada pendirian masing-masing, nanti dicari titik persamaannya dalam membangun kerjasama itu. Bukannya, kita membangun kekuatan bersama dimana masing-masing pihak menyembunyikan identitas dan pemikirannya, sehingga hanya menghasilkan kemunafikan dalam berpolitik.
Seperti halnya mengamati tulisan ataupun polling yang dilakukan oleh para pengamat ataupun lembaga survei akhir-akhir ini, Yusril Ihza Mahendra melihat banyak analisis yang tidak disajikan secara proporsional. Ia menyatakan mengerti perbedaan akar sosiologis antara Indonesia dengan negara lain, semisal Jerman. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa di negara itu terdapat Partai Kristen Demokrat yang daya akseptabilitasnya tinggi, bukanlah sebuah gerakan ideologi, melainkan Partai Politik. Karena dalam posisi itu, maka ia bertindak pragmatis-realistis dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bangsa Jerman.
Persoalannya saat ini, banyak sekali analis mengalami kekeliruan akademis dengan mengelompokkan secara teoritik tentang variabel Partai Islam, tanpa mampu membedakannya sebagai sebuah Partai Politik dan gerakan ideologi. Jika menggunakan kerangka analisis yang membedakan keduanya dengan jelas, maka publik pun dapat mengerti, sehingga adanya kekhawatiran atas ekstremisitas dan fundamentalisme terhadap bulan bintang seakan-akan sebuah gerakan Islam yang revolusioner menjadi hal yang absurd.
Problem kontemporer lain yang diungkapkan Yusril Ihza Mahendra, bahwa tetap meruncingnya dikotomi antara Islam dan Nasionalis dalam fragmentasi kepartaian ini, sesungguhnya tak lepas dari adanya misi politik. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah seperti Saiful Mujani, dan kawan-kawan misalnya, yang seringkali melakukan riset semacam itu, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemikiran Alm. Nurcholish Majid, yang menganggap “Islam Yes Partai Islam No”. Dengan demikian, tidaklah mengherankan bahwa ada penggiringan opini ke arah pengguguran eksistensi Partai Islam. Karenanya, sudah tidak relevan membicarakan dikotomi antara Islam dan Nasionalis, karena sejujurnya, mungkin Partai yang diklaim sebagai nasionalis itu juga akan menghadapi dilema, apabila kategorisasi ideologisnya digeser menjadi dikotomi antara Partai Islam dengan Partai Sekuler.
Dengan demikian, secara konsepsional, sebagaimana diungkapkan Yusril Ihza Mahendra, bahwa sebagai kekuatan sejarah, Islam di Indonesia adalah kekuatan yang telah memainkan peranan yang besar, baik di masa lalu, di masa kini, maupun di masa depan. Untuk melihat itu, diperlukan kearifan dengan menggunakan berbagai perangkat analisis ilmiah, dengan menjauhi sikap-sikap a-priori dan purbasangka. Islam sendiri dapat menyumbangkan sesuatu yang amat berarti bagi masa depan Indonesia. Sebagai doktrin yang amat multidimensional, Islam menjadi sumber motivasi yang tak pernah kering bagi umatnya untuk mendorong proses perubahan ke arah yang lebih baik dari masa kini.
Untuk itulah, umat Islam dituntut untuk tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dan memahami secara sungguh-sungguh, dimanakah peranan doktrin yang sesungguhnya dalam konteks riil sebuah masyarakat dan sebuah negara bangsa (nation state)? Sebagai rahmat bagi sekalian alam, kehadiran Islam hendaknya bukan saja menuntut arah perubahan bangsa ini pada suatu titik yang lebih cerah sebagaimana diharapkan umat Islam, namun kehadirannya diharapkan menjadi sesuatu yang juga menjadi rahmat bagi pemeluk-pemeluk agama lain yang menjadi bagian tak terpisahkan dari bangsa ini.
Dalam kedudukannya sebagai Pejabat Negara pasca reformasi, baik selaku Menteri Kehakiman dan HAM di masa Kabinet Megawati, maupun sebagai Menteri Sekretaris Negara di era Susilo Bambang Yudhoyono, Yusril Ihza Mahendra secara brilian telah berhasil mentransformasikan asas-asas syariat Islam dalam membuat berbagai produk hukum seperti UU Pemerintahan Aceh (Qanun), UU Kepailitan, UU Otonomi Khusus Papua, Perpu Terorisme, UU Perbankan yang melahirkan sistem keuangan Islam seperti Bank Muamalat, dan ratusan peraturan perundang-undangan lainnya dalam berbagai bentuk, yang dilahirkan pada era-nya, serta kebijakan-kebijakan lainnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa dan negara kita.
Memang di era itu, sebagai Pejabat Negara yang juga merupakan representasi sosok politisi Islam di kabinet, Yusril Ihza Mahendra seolah tidak kehilangan warna dan jati dirinya, sehingga tidak ada keseganan yang tampak untuk senantiasa memberikan pendidikan politik bagi rakyat mengenai gagasan politik, baik dalam refleksi pemikirannya sebagai seorang intelektual, maupun dasar perjuangan yang diusung oleh Partainya, Partai Bulan Bintang.
Seperti diketahui bahwa di masa transisi itu, secara konsepsional, Partai Bulan Bintang memang tetap memperjuangkan tegaknya syari’ah Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita, seperti menjunjung tinggi kemajemukan. Syari’ah Islam dalam arti peribadatan — seperti solat, puasa dan haji — dapat dilaksanakan umat Islam seluas-luasnya, tanpa sedikitpun kewenangan negara untuk mencampuri atau menghalanginya. Syari’ah Islam dalam kehidupan pribadi dan keluarga – seperti perkawinan dan kewarisan — dijamin untuk dilaksanakan bagi umat Islam, sebagaimana umat beragama lain juga tunduk kepada ketentuan-ketentuan agama mereka.
Sedangkan konsep syari’ah yang diperjuangkan Partai Bulan Bintang dalam kehidupan yang lebih luas, berkaitan dengan hukum publik, adalah sumber hukum yang universal, yang dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional atau peraturan di daerah-daerah. Kalau sudah selesai ditransformasikan, maka namanya bukan lagi syari’at Islam, melainkan hukum nasional Republik Indonesia atau Peraturan Daerah, atau peraturan lainnya yang merupakan hukum negara Republik Indonesia.
Bukan hanya syari’ah Islam sebagai sumber hukum yang ditransformasikan, asas-asas hukum Adat, Hukum Eks Kolonial Belanda yang telah diterima masyarakat, dan juga konvensi-konvensi internasional yang telah kita ratifikasi, dalam pandangan Partai Bulan Bintang, semuanya adalah sumber hukum, di samping Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas dan cita-cita perjuangan PBB adalah sejalan dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Partai ini menjunjung tinggi asas Bhinneka Tunggal Ika. Asas ini disahkan menjadi kata-kata yang diletakkan di dalam lambang negara Garuda Pancasila. Pengesahan itu dilakukan oleh Perdana Menteri Dr. Sukiman Wirjosandjojo di tahun 1952. Dr. Sukiman adalah Ketua Umum Pertama Partai Masyumi, Partai Islam yang memberi inspirasi kepada asas dan perjuangan Partai Bulan Bintang.
Dengan berasaskan Islam dan menimba inspirasi dan motivasi yang seluas-luasnya dari ajaran Islam yang universal itu, Partai Bulan Bintang berjuang untuk memajukan bangsa dan negara Republik Indonesia, dan tidak “menjual” agama sebagaimana dituduhkan orang-orang sekuler-nasionalis, karena agama bukanlah barang dagangan yang dapat diperjual-belikan. Karena itulah, Partai Bulan Bintang seperti diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa di samping sebuah Partai Islam, ia adalah juga Partai Indonesia. Karenanya akan terus berjuang membela tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nama Republik Indonesia itu.
Partai Bulan Bintang ini juga tidak berniat untuk mengubah nama negara kita menjadi Republik Islam Indonesia seperti sering dituduhkan secara kontroversial oleh berbagai pihak. Namun Partai ini memperjuangkan ajaran Islam yang universal, dapat menjiwai dan menyemangati kehidupan bangsa dan negara kita, dengan tetap menjunjung tinggi dan menghormati keberadaan pemeluk-pemeluk agama lainnya, sesuai dengan jaminan ajaran Islam tentang kemerdekaan memeluk agama dan menjalankannya, yang semuanya adalah sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Di sisi lain, Partai Bulan Bintang dengan tegas menolak sekularisme, yang bercita-cita ingin memisahkan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Karena itu Partai Bulan Bintang ini bukan hanya menginginkan Umat Islam menjadi maju, tetapi menginginkan agar semua umat beragama yang merupakan bagian dari rakyat dan bangsa Indonesia harus sama-sama mencapai kemajuan. Partai ini bukan hanya ingin agar umat Islam dapat dengan leluasa menjalankan ajaran agamanya, melainkan semua pemeluk agama dapat menjalankan ajaran agama mereka dengan leluasa, aman dan sentosa.
Secara faktual, tiap analis politik umumnya sependapat pada kesimpulan umum bahwa perjalanan politik Partai Bulan Bintang dalam mengartikulasikan platform dan gagasan-gagasannya sebagai sebuah institusi politik dalam satu dekade ini, memang tidak bisa dilepaskan dari peranan seorang tokoh sentralnya, yakni Yusril Ihza Mahendra. Walaupun dalam berbagai kesempatan, tokoh ini selalu menekankan kepada setiap kadernya, untuk menjauhkan diri sikap fanatik berlebihan atau ta’asub kepada Partai yang sesungguhnya bukan merupakan “tujuan” dalam hidup berbangsa dan bernegara, melainkan hanya “alat untuk mencapai tujuan”. Dan secara pribadi ataupun dalam konteks nasional, Yusril juga berulang kali menganjurkan secara subyektif untuk menghindari sikap ‘kultus-individu’ yang menurutnya hanya akan meracuni moral setiap warga bangsa, baik fanatisme terhadap perseorangan maupun terhadap Partai, sehingga hal yang paling ditakutkannya dalam hidup ini adalah: “masih hidup kita dikultuskan orang, sudah mati kuburan kita dikeramatkan orang”,.. Naudzubillah min dzalik.
Gambaran diatas memperlihatkan bahwa sudah demikian banyak peran Yusril Ihza Mahendra dalam memberikan arah dan warna perjuangan Partai Bulan Bintang dalam kurun satu dasawarsa ini. Pertanyaan besarnya adalah, mampukah kemudian Partai bernomor urut 14 pada Pemilu 2014 ini, kembali eksis mewarnai gerakan politik Islam di tanah air kita, dengan melampaui ambang batas parlemen 3,5% (parliamentary treshold), dan menghantarkan tokoh sentralnya itu menuju tampuk kepemimpinan nasional bangsa ini?
Berbagai strategi dan program kiranya tengah disusun oleh Partai Politik Islam pengusung tema perjuangan “Mewujudkan Keadilan dan Kepastian Hukum” pada Pemilu 2014 ini, untuk sebanyak mungkin meraih partisipasi publik, termasuk mempengaruhi rekaan dan spekulasi yang akan terus bermunculan melalui berbagai sarana dan media, menjelang pesta demokrasi yang akan diselenggarakan pada pertengahan tahun depan.
Karena itu, bagian terakhir tulisan ini akan menggambarkan secara singkat biografi dari Yusril Ihza Mahendra, seorang tokoh politik Islam yang hampir dipastikan akan dicalonkan oleh Partai Bulan Bintang sebagai Calon Presiden Republik Indonesia, pada Pemilihan Umum Presiden Tahun 2014 nanti.
Banyak pengamat yang menilai bahwa Yusril Ihza Mahendra, adalah hampir satu-satunya tokoh Islam yang mampu masuk dan berkibar di atmosfir pemikiran Islam nasional. Ini disebabkan karena ia mampu mengartikulasikan aspirasi-aspirasinya tidak saja melalui pergulatan intelektualisme ataupun kesehariannya sebagai praktisi hukum, namun ia juga dianggap mampu meletakkan dirinya saat berkomunikasi, dalam spektrum umat Islam yang beragam secara elegan dan moderat, tanpa kehilangan jati diri dan pendiriannya sendiri.
Tokoh yang memiliki motto hidup “Ungkapkan Kebenaran Melalui Pengetahuan dan Keberanian” ini, berhasil menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya pada Fakultas Hukum jurusan Hukum Tata Negara dan Jurusan Filsafat Fakultas Sastra di Universitas Indonesia. Ia kemudian meneruskan pendidikannya dengan mengikuti program Pascasarjana di Universitas yang sama dengan mengambil Jurusan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Islam. Di kampus yang membesarkannya ini, ia bahkan pernah menjadi Ketua Majelis Permusyawatan Mahasiswa, yang pada masa itu menentang keras kehadiran konsep NKK dan BKK, walau akhirnya ia dikenai skorsing di zaman Menteri Pendidikan Dr. Daoed Joesoef.
Yusril Ihza Mahendra kemudian meneruskan pendidikannya hingga mendapat gelar Master of Science pada Graduate School of Humanities and Social Science, University of the Punjab, di Pakistan. Ia pun pernah mengikuti pendidikan setingkat Master’s Degree (Master of Law)Leiden Universiteit, di negeri Belanda. Selanjutnya, ia memberanikan diri untuk meneruskan pendidikan doktoralnya di New York, Amerika Serikat dan mengambil program Southeast Asian studiesCornell University. Walaupun sangat disayangkan, akibat masalah pembiayaan sponsor, ia hanya dapat menyelesaikan pendidikannya di Universitas terkemuka itu selama 2 (dua) semester. Namun atas saran promotor tetapnya (Prof. George McTurnan Kahin), Yusril pada akhirnya dapat melanjutkan dan menyelesaikan Ph.D-nya, dengan spesialisasi Perbandingan Politik Islam pada Universiti Sains Malaysia, tahun 1993.
Sekembalinya ke tanah air, Yusril kembali aktif mengajar pada almameternya di Universitas Indonesia, sampai akhirnya diangkat sebagai Ketua Jurusan Tata Negara di Fakultas Hukum UI, selain tetap beraktivitas dalam dunia pergerakan di luar kampus, sebagaimana kebiasaannya sejak muda dulu, ia pernah aktif di Himpunan Mahasiwa Islam (HMI), Pemuda Muslimin afiliasi PSII, ICMI, Pemuda Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI), serta bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Riset LIPPM (bersama Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, HM. Rasjidi, dan Anwar Harjono). Hal itu disebabkan karena cita hidupnya, yang ingin menggabungkan antara “aktivisme dan intelektualisme”.
Hingga beberapa waktu kemudian, tepatnya di akhir tahun 1993, Yusril direkrut oleh Sekretariat Negara sebagai Asisten Mensesneg Urusan Khusus. Sejak saat itu, ia dipercaya sebagai “speech writer” Presiden Soeharto, yang berlangsung hingga menjelang Kepala Negara ke-2 Republik Indonesia itu mengundurkan diri, pada tanggal 21 Mei 1998. Namun setahun sebelumnya, Yusril Ihza Mahendra telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Indonesia, dan sejak saat itu ia berhak menyandang gelar “Profesor” di depan namanya. Ia pun pernah menjadi Guru Besar Tamu di University of Hamburg, Jerman.
Perubahan konstelasi politik di tahun 1998, yang ditandai dengan jatuhnya rezim Presiden Soeharto kala itu, telah mengubah juga alam demokratisasi, khususnya sistem politik kita menjadi multi-partai. Singkatnya, dalam kontestasi ini, Yusril Ihza Mahendra tampil untuk pertama kalinya sebagai tokoh muda yang memimpin sebuah Partai Politik Islam Bulan Bintang, sebagaimana telah digambarkan secara komprehensif sebagai topik utama tulisan ini, dan posisi Partainya pada pemilu 1999 waktu itu cukup diperhitungkan, karena termasuk dalam 6 Partai besar yang berhasil melampaui “electoral treshold” 10%, dan mendapatkan kursi di MPR/DPR RI.
Langkah politik Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini, melalui koalisinya dengan beberapa Partai berbasis massa Islam di Parlemen, yang tergabung dalam kelompok “Poros Tengah”, akhirnya telah membawa Abdurrahman Wahid menuju Kursi Kepresidenan, dan mengikutsertakan pula Yusril Ihza Mahendra, sebagai anggota kabinetnya, dengan jabatan Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Namun seiring dengan penggantian kepemimpinan nasional, dimana Gus Dur harus dimakzulkan (impeachment) lewat Sidang Istimewa MPR tahun 2001, akibat mengeluarkan Dekrit yang berisi: (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar. Dan ketika Megawati Soekarno Putri selaku Wakil Presiden mengambil alih kekuasaan sebagai Presiden menggantikan Gus Dur, Yusril kembali dipercaya menduduki kursi Menteri Kehakiman dan HAM.
Perjalanan politik Yusril kian cemerlang, ketika pada tahun 2004, Partai Bulan Bintang yang menjadi “shareholder” utama pendukung pasangan SBY-JK, selain Partai Demokrat dan PKPI, pada akhirnya memenangkan pertarungan pada Pemilihan Umum Presiden, mengalahkan calon Incumbent kala itu, Megawati Soekarno Putri. Sekali lagi, Yusril kembali dipercaya untuk duduk dalam kabinet baru itu, sebagai Menteri Sekretaris Negara. Namun akibat berbagai isu dan propaganda politik, khususnya melalui “trial by the press” yang dilancarkan oleh lawan-lawan politik dan berbagai pihak yang tidak nyaman atas keberadaannya di lingkar kekuasaan, membuatnya harus di-reshuffle oleh Presiden SBY, dengan isu utama dugaan keterlibatan Yusril dalam kasus pengadaan sidik jari AFIS (Automatic Finger Print Identification System) dan Pencairan Uang Tommy Soeharto di BNP Paribas, yang secara hukum tidak pernah terbukti hingga saat ini.
Sebelum maupun saat duduk di pemerintahan sebagai anggota kabinet, Yusril Ihza Mahendra, juga tercatat pernah menduduki beberapa posisi dan tugas strategis, baik dalam level nasional maupun internasional, antara lain menjadi Ketua Tim Ahli bidang Hukum pada Pusat Penelitian dan Pelayanan Informasi DPR RI, Presiden Asian-African Legal Consultative Organization (AALCO), Komisaris PT Pertamina, Anggota MPR/DPR RI, Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam berbagai perundingan Internasional termasuk sidang ASEAN, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan APEC, Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk berbicara dan berpidato dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Konferensi Internasional tentang Tsunami dan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika, Sekretaris Regional Islamic Da’wah Council of Southeast Asia and the Pasific di Kuala Lumpur yang diketuai oleh Tunku Abdul Rahman Putra Al-Haj (Mantan Perdana Menteri Malaysia), Penyusun dan Penandatangan Konvensi PBB atas nama Pemerintah Republik Indonesia seperti UN Convention on Transnational Organized Crime di Palermo Italia, dan UN Convention Against Corruption di Markas PBB New York, AS, dan beberapa posisi dan tugas penting lainnya.
Pemberhentiannya sebagai Mensesneg, ternyata tidak serta-merta membuat gerak-langkah Yusril Ihza Mahendra, baik sebagai seorang politisi Muslim maupun sebagai advokat tidak surut. Berbagai tawaran untuk menduduki berbagai posisi yang strategis kembali oleh Presiden SBY, seperti Menteri Dalam Negeri, Duta Besar RI di Malaysia, bahkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi tidak diterimanya. Ia terlihat lebih menikmati aktivitasnya di luar struktur, namun tetap kritis mengoreksi setiap kebijakan pemerintahan yang dianggapnya keliru.
Akan tetapi babak-babak perlawanan hukum Yusril Ihza Mahendra terhadap Pemerintah, sesungghnya dimulai pada saat penetapannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Sisminbakum pada tahun 2010 yang lalu. Langkah yang dilakukannya ketika itu, selain menghadapi proses pemeriksaan di Kejaksaan Agung, adalah mempersoalkan legalitas Jaksa Agung, dan mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Singkatnya, MK pada akhirnya membenarkan pendapat Yusril dan menganggap bahwa kedudukan Hendarman Supandji selaku Jaksa Agung, sejak dibacakannya putusan, tanggal 24 September 2010, menjadi tidak lagi sah, hingga membuat Presiden SBY harus membuat Keputusan Presiden pengganti Hendarman, yang memang tidak pernah dilantik kembali pada saat pembubaran Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, tahun 2009.
Keberhasilan perlawanan Yusril Ihza Mahendra diatas, yang ditempuh dengan cara dan mekanisme yang sah dan konstitusional, kemudian diikuti oleh kemenangan-kemenangan gemilang berikutnya atas pemerintah. Beberapa yang tercatat, diantaranya adalah, uji materi Pasal 97 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Yusril dengan menghilangkan frasa ’setiap kali’ dalam pasal yang berbunyi: “Jangka waktu pencegahan paling lama enam bulan dan ’setiap kali’ dapat diperpanjang paling lama enam bulan”. Akibat putusan itu, setiap penegak hukum hanya bisa mencegah seseorang maksimal setahun atau 2 x 6 bulan, sudah termasuk perpanjangan. “Lebih dari itu, penegak hukum melanggar HAM”.
Pelajaran berikutnya yang ditunjukkan Yusril Ihza Mahendra, adalah meluruskan kekeliruan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, yang digawangi Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana, terkait moratorium pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dan terorisme. Kebijakan itu dianggap Yusril sebagai sebuah pelanggaran hukum dan HAM, karena telah menghilangkan hak-hak narapidana yang telah dijamin dalam UU. Hingga akhirnya PTUN pun membatalkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku, dan tidak sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam negara hukum, baginya, setiap tindakan aparatur negara harus didasarkan kepada hukum positif yang berlaku, karena apabila tidak, maka tujuan‘rechstaat’ itu akan bergeser menjadi ‘machstaat’, tergantung selera sang penguasa.
Kemenangan Yusril berikutnya adalah saat mengabulkan uji materi beberapa pasal dalam KUHAP terkait saksi meringankan. Gugatan ini dilayangkan karena kejaksaan menolak menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden kelima Megawati Soekarno Putri sebagai saksi karena dianggap tidak relevan. Padahal UU PNBP secara eksplisit telah menerangkan bahwa yang berwenang menetapkan sesuatu item sebagai PNBP, hanyalah seorang Presiden.
Tetapi dari sekian banyak keberhasilan diatas, barangkali keberhasilan terakhirnya adalah yang cukup fenomenal, dan cukup relevan dengan topik tulisan ini, yaitu kemenangannya sebagai Ketua Majelis Syura dalam memperjuangkan Partai Bulan Bintang besutannya, untuk dapat lolos pada Pemilihan Umum 2014 mendatang, melalui jalur hukum. Kemenangan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, atas kesewenang-wenangan KPU tersebut, dalam putusannya sangat jelas dan terang menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses verifikasi faktual terhadap Partai Bulan Bintang, sehingga hasil verifikasi faktual itu dinyatakan cacat hukum. Putusan ini juga telah memaksa KPU selaku pihak Tergugat, untuk merevisi Surat Keputusan KPU Nomor 5 Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2014, dan menambahkan PBB sebagai partai peserta Pemilu.
Selanjutnya, kemenangan demi kemenangan Yusril melawan pemerintah dalam mengajukan gugatan, pembelaan, ataupun membantu aparat penegak hukum dalam memberantas mafia hukum (kepailitan) misalnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini, tidak jarang menimbulkan beragam analisa politik, seperti adagium “beginilah cara Yusril mengajari SBY soal hukum”, sebagai orang yang tidak lagi terlibat dalam pusaran kekuasaan. SP3 atas kasusnya sendiri adalah pembuktian ucapannya bahwa kekuasaan masih dapat dikalahkan oleh hukum.
Selain gambaran singkat diatas, Yusril Ihza Mahenda adalah seorang tokoh yang multidimensi. Ia adalah satu dari dua tokoh hukum Indonesia yg terpilih sebagai Calon Hakim Mahkamah Internasional di Den Haag, selain Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Mantan Menteri Luar Negeri RI) dalam sepuluh dasawarsa terakhir, sejak 1922 International Court berdiri. Selanjutnya, tidak banyak orang juga yang mengetahui bahwa ia seorang multi-linguist, yang menguasai Bahasa China (Hakka & Mandarin), Tagalog, Urdu, Inggris, Arab, dan Melayu.
Profil terakhir dari seorang Yusril Ihza Mahendra, politisi Muslim yang diprediksi akan semakin diperhitungkan pada kompetisi Pemilihan Umum Presiden 2014 mendatang, bahwa ia sesungguhnya telah mendapat amanah dari para Raja, Sultan, dan Pemangku adat se-Indonesia untuk mengamankan serta mereposisi eksistensi Kerajaan, Kesultanan dan masyarakat adat nusantara beserta hak-hak tradisionalnya. Selain tanda tangan kolektif yang telah dibubuhkan itu, sebilah keris juga diberikan kepada Yusril sebagai simbol pengemban amanah itu, sekaligus pemberian gelar sebagai Sri Narendra Dyah Balitung Saifa al-Din Wa Al-Daulahuntuk meneruskan perjuangan memajukan, memakmurkan dan menyejahterakan bangsa. Sebuah amanah gelar yang hanya pernah diterima oleh Pemimpin, sekaligus Proklamator bangsa ini, Bung Karno.
Sekelumit profil singkat diatas, kiranya masih jauh dari kompleksitas untuk menggambarkan secara utuh track-record seorang Yusril Ihza Mahendra, baik dari segi ketokohan maupun kenegarawanan. Mampukah ia dan Partai Bulan Bintang meraih kesuksesan pada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2014 mendatang, sekaligus merevitalisasi kembali penerapan konsepsi Islam dalam percaturan politik di tanah air kita, demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum untuk kesejahteraan rakyat Indonesia? Kita tunggu saja perkembangannya.
Wallahu ‘alam bissawwab
“Lukmanulhakim A.P.”
Penulis adalah anggota Keluarga Besar Bulan Bintang

0 komentar:

Posting Komentar